Artikel Kesehatan “MALAPETAKA DI BALIK SENYUM PETUGAS SPBU”


Meskipun  belum ada data secara nasional tentang jumlah petugas pengisi BBM di SPBU yang mengalami gangguan kesehatan akibat terpaparnya dengan uap bensin saat pengisian akan tetapi jika dilihat dari pola kerjanya hampir dapat dipastikan, mereka sebenarnya berisiko mengalami gangguan kesehatan mulai dari gejala ringan seperti pusing-pusing sampai dengan gangguan berat yakni kanker darah.


Bensin (gasoline) merupakan salah satu senyawa yang sudah tidak asing digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bahan bakar kendaraan bermotor. Bensin diperoleh dari minyak mentah (crude oil) pada proses pengilangan minyak. Minyak mentah mempunyai bentuk berupa cairan kental berwarna hitam dan mengandung sekitar 500 macam hidrokarbon dengan jumlah atom karbon (C) mulai dari 1 hingga 50.

Titik didih hidrokarbon akan mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya jumlah atom karbonnya. Bensin mempunyai rentang rantai karbon C6 hingga C11 dan merupakan campuran dari berbagai hidrokarbon, antara lain butana, pentana, isopentana, benzen, alkilbenzen, toluen, dan xylene.


Ketika mengisi bensin di SPBU, baik petugas pengisi bensin maupun konsumen, dapat terpapar uap bensin. Namun, orang yang bekerja di SPBU akan terpapar uap bensin lebih banyak dan lebih lama daripada konsumen.


Jalur inhalasi merupakan jalur paparan yang umum untuk masuknya bensin ke dalam tubuh. Umumnya, Paparan akut uap bensin dapat menyebabkan iritasi, telinga berdenging, mual, muntah, dada terasa perih, sukar bernafas, denyut jantung tidak normal, sakit kepala, lemah, mabuk, disorientasi, penglihatan terganggu, bendungan paru, gangguan darah, kelumpuhan, kejang, dan koma. Uap bensin juga dapat menimbulkan depresi sistem saraf pusat, hidung, dan tenggorokan.

Menghirup bensin dengan kadar tinggi dalam jangka waktu pendek (akut) juga dapat menimbulkan efek buruk terhadap sistem saraf. Efek yang ditimbulkan akan bertambah berat seiring dengan meningkatnya jumlah bensin yang terhirup.


Menghirup bensin dalam jumlah besar dapat mengakibatkan kematian. Kadar bensin yang dapat menimbulkan kematian adalah sekitar 10000 – 20000 ppm jika terhirup.


Senyum, salam, sapa, yang menjadi prinsip Pertamina saat ini, di satu sisi, memberikan nilai positif kepada para pelanggan. Namun di sisi lain, ada dampak negatif bagi para petugas SPBU.


Ketika mengisi bensin, saya sering kali ngobrol dengan petugas pom bensinnya. Hal yang beberapa bulan ini saya tanyakan ke mereka di berbagai tempat pom bensin, adalah apakah mereka tidak pusing mencium bau bensin setiap hari dan kenapa mereka tidak memakai masker penutup hidung agar mengurangi uap bensin yang terhirup.

Mereka, kurang lebih sepuluh orang, yang saya tanyakan semuanya menjawab bahwa sebenarnya mereka juga pusing. Mereka merasakan dada yang sesak. Dan makin parah lagi kalau pas mereka sedang sakit, katakan saja flu, perasaan sakit di dada semakin menjadi. Ketika saya tanyakan kenapa mereka tidak memakai masker, jawaban mereka semuanya sama yaitu karena kebijakan perusahaan. Mereka diwajibkan untuk tetap tersenyum ketika melayani pelanggan. Dan sambil berkata “dimulai dari nol ya, Pak/Bu”. Mereka bilang, kalau mereka pakai masker, mereka tidak bisa lagi menunjukkan senyum ke para pelanggan, dan itu akan dianggap tidak sopan karena tidak menghargai pelanggan. Saya kaget mendengar jawaban mereka.

Jawaban mereka pun semakin diperkuat dengan iklan Pertamina di televisi yang mengutamakan senyum petugasnya ketika melayani pelanggan. Ironisnya, di balik senyum yang mereka berikan, ada derita yang harus mereka tanggung.
Saya sebagai pelanggan lebih senang melihat mereka memakai masker penutup hidung, ketimbang mereka melayani dengan senyum.


Upaya Pengendalian dan Pencegahan


Melalui tulisan ini, ada beberapa hal yang dapat saya rekomendasikan baik terhadap Pertamina, Pemilik SPBU dan Pihak Pemerintah (Disnaker). dengan harapan kiranya tulisan yang sederhana ini dapat memberikan masukan yang berarti.


Pertama;


Pihak SPBU harus melakukan pengukuran untuk mengetahui konsentrasi uap bensin di atmosfer. Hasil ini penting untuk diketahui untuk menentukan langkah pengendalian selanjutnya. Hasil pengukuran tersebut  dievaluasi dengan membandingkan Nilai Ambang Batas (TLV). ACGIH (Asosiasi Hygiene Industri Amerika) menetapkan mengenai batas maksimal jumlah paparan uap bensin di udara dalam kurun waktu tertentu. Untuk 8 jam perhari, boleh terpapar maksimal 0,5 ppm (TLV-TWA).

Artinya dengan konsentrasi 0,5 ppm ini, petugas masih relatif aman bekerja untuk selama 8 jam per harinya. Lalu, bagaimana bila hasil ukur melebihi ambang batas. Katakanlah hasil ukurnya 2,5 ppm. ACGIH merekomendasikan boleh terpapar per harinya selama 15 menit. SPBU pada umumnya buka 24 jam dengan membagi 3 shift dengan lama kerja per hari, 8 jam. Jadi dengan demikian konsentrasi uap bensin di udara tidak boleh lebih dari 0,5 ppm.


Kedua;
Petugas pom bensin terpapar dengan uap bensin salah satunya melalui jalur pernapasan sehingga untuk mencegah masuknya senyawa ini dengan cara menggunakan alat pelindung diri/masker. Penggunaan APD ini ditetapkan dalam bentuk SOP/prosedur pengisian bensin. Tentunya prosedur baru ini wajib disosialisasikan ke petugas. Untuk memastikan prosedur ini dijalankan dengan baik, pihak SPBU perlu menunjuk sepervisi di lapangan.


Ketiga;


SPBU merupakan mitra bisnis Pertamina. Jadi, pihak Pertamina semestinya meninjau kembali persyaratan pengajuan pendirian sebuah SPBU. Persyaratan agar pihak SPBU mempunyai alat ukur konsentrasi uap bensin di atmosfer adalah sebuah keharusan mutlak karena dengan alat ini akan diketahui berapa kadar konsetrasi uap bensin yang terhirup oleh petugas. Pembinaan dan pengawasan oleh pertamina terhadap SPBU harus dilakukan secara periodik dan berkelanjutan.

Pengawasan dilakukan terutama untuk memastikan standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) telah dijalankan oleh pihak SPBU. Hal ini tentunya dibuatkan dalam bentuk sistem pengawasan, di mana di dalamnya juga mengatur pemberian sanksi bila ada pelanggaran.


Keempat.


Pihak pemerintah melalui Dinas Tenaga Kerja tentunya tidak bisa lepas tangan, harus lebih proaktif mengawasi pihak SPBU dan Pertamina untuk mematuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan perundangan, terutama Undang-Undang Nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Hak keselamatan dan kesehatan yang dimiliki pekerja, benar-benar diberikan oleh perusahaan yang mempekerjakannya. Kegiatan seperti inspeksi dan audit K3 oleh Disnaker (Pegawai Pengawas K3) harus dilakukan secara reguler dan berkesinambungan.


Empat aspek di atas mudah-mudahan dapat di terima oleh pihak-pihak yang terkait, dengan harapan tentunya dapat ditindaklanjuti dengan bukti yang nyata karena pekerja bukan hanya asset bagi perusahaan tetapi lebih dari itu sebagai partner oleh karenanya penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja mutlak diterapkan untuk menjamin hak selamat dan sehat pekerja telah terpenuhi.
 
Oleh; Yusmardiansah, SKM, MOHS (MK3)
Pengamat K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja)
Dosen Prodi Kesehatan Masyarakat-Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai